Jumat, 06 Mei 2011

Misteri Relief borobudur

Siapa tak terpesona menatap
keindahan Candi Borobudur di
Magelang, Jawa Tengah?

Dibangun pada masa Raja
Samaratungga dari Wangsa
Syailendra pada tahun 824,
Borobudur terdiri dari 1460
panel relief dan 504 stupa.

Namun, panel yang selama ini
terlihat ternyata belum lengkap.
Ada panel-panel yang sengaja
ditimbun tanah karena reliefnya
dianggap vulgar dan cabul.

Panel-panel itu terletak di
bagian paling bawah, yang
disebut Kamadhatu.
Bagian fondasi tersembunyi itu
terdiri dari 160 relief adegan
Sutra Karmawibhangga atau
hukum sebab-akibat. Panel-
panel itu menggambarkan
perbuatan yang mengikuti
hawa nafsu manusia, semisal:
bergosip, membunuh, menyiksa
dan memerkosa. Juga ada
adegan-adegan seks dalam
berbagai posisi.

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Indonesia, Edi
Sedyawati mengemukakan,
relief Karmawibhangga itu
menggambarkan kehidupan
masyarakat saat candi itu
dibangun.

Ada sejumlah pendapat
mengapa relief ini ditimbun.
Bisa jadi karena kurang pantas
dipertontonkan ke publik, tapi
ada pula yang menduga
penutupan ini semata-mata
demi kestabilan posisi candi —
agar tidak amblas.

Terlepas dari perdebatan itu,
keseluruhan relief di Borobudur
mencerminkan ajaran Budha
Mahayana: semakin ke atas
semakin mencapai
kesempurnaan. Bagian paling
bawah atau Kamadhatu
menggambarkan perilaku
penuh angkara murka dan
hawa nafsu yang menyebabkan
seseorang masuk neraka
jahanam.

Bagian tengah (terdiri dari
empat tingkat) dinamakan
Rapadhatu, tempat manusia
dibebaskan dari nafsu dan hal-
hal duniawi.

Sedangkan bagian
teratas— termasuk tiga teras
melingkar yang mengarah ke
pusat kubah—disebut
Arupadhatu, tempat para dewa
bersemayam atau nirwana.
Keberadaan Borobudur
sesungguhnya telah diketahui
penduduk lokal di abad ke-18.
Sempat tertimbun material
Gunung Merapi, candi ini lalu
ditemukan kembali oleh Sir
Stanford Raffles pada 1814.
Selanjutnya, pada 1885,
arkeolog JW Yzerman
mendokumentasi dan merekam
reliefnya. Saat itulah, timnya
menemukan relief tersembunyi
di bagian paling bawah.

Sekitar tahun 1890-1891,
bagian yang tertutup itu dibuka
seluruhnya oleh fotografer
Kasiyan Chepas untuk dipotret
satu per satu. Batu bervolume
13000 meter kubik ini diangkat,
lalu dikembalikan lagi ke posisi
semula. Hingga hari ini, bagian
itu ditimbun tanah sehingga tak
seorangpun bisa melihat. Ada
tiga panel di bagian tenggara
candi yang terbuka--diduga
karena proses penutupan
kembali yang tak sempurna.
Hasil bidikan Chepas kemudian
dibukukan pada 1931. Buku
aslinya kini ada di Museum
Nasional, Jakarta. Sedangkan
klise asli disimpan di Museum
Tropen, Amsterdam karena
statusnya milik Pemerintah
Belanda. Pemerintah Indonesia
memiliki replika seluruh foto itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar